Sabtu, 16 Februari 2013

Kejanggalan di Balik Penolakan 30 Paket Soal UN 2013

Ujian merupakan sebuah tahapan atau proses yang harus seseorang lewati ketika akan menempuh suatu tingkatan baru dalam kehidupannya. Berbagai ujian dilalui oleh manusia dalam menjalani kehidupannya. Salah satu ujian yang dianggap penting oleh seseorang adalah ujian kelulusan sekolah. Ujian tersebut biasa disebut sebagai ujian nasional atau disingkat UN.

Ujian nasional merupakan sebuah ujian yang dilaksanakan untuk menguji apakah seseorang layak untuk lulus dari suatu jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Kualitas dan kuantitas belajar seorang siswa selama tiga tahun, untuk SMP dan SMA, serta enam tahun, untuk SD, diuji. Proses pengujiannya relatif singkat, yaitu selama 4 sampai 6 hari, dimana setiap harinya ada satu sampai dua mata pelajaran yang diujikan.

Namun, pelaksanaan UN seringkali dipenuhi kecurangan. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu siasat panitia UN adalah menciptakan paket soal yang bervariasi untuk setiap ruangan. Jumlah variasi soal untuk tahun 2013 direncanakan sebanyak tiga puluh paket soal. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan dengan jumlah variasi soal pada tahun-tahun sebelumnya.

Berbagai pendapat dan tanggapan pun muncul terhadap rencana di atas, mulai dari yang pro dan yang kontra. Reaksi yang paling sering muncul adalah reaksi penolakan. Muncul berbagai komentar dan penolakan di berbagai situs jejaring sosial. Mereka menolak rencana tersebut dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang muncul adalah pemerintah tidak memikirkan nasib dari siswa yang mengerjakan soal tersebut. Penolakan-penolakan tersebut kebanyakan diungkapkan oleh siswa yang akan menjalani UN di tahun 2012.

Jika dipikir lebih dalam terdapat sebuah keanehan apabila seorang siswa bingung, resah, dan menolak terhadap penambahan jumlah variasi soal. Sebanyak apapun variasi soal yang diberikan, peserta UN hanya perlu mengerjakan satu paket soal yang diberikan kepadanya. Dua puluh paket soal lainnya tentu saja tidak dapat membebani peserta UN karena tidak harus dikerjakan. Beda kasusnya apabila setiap satu peserta UN  harus mengerjakan tiga puluh paket soal maka mereka wajib untuk menolaknya.

Selanjutnya, indikasi yang muncul kenapa mereka menolak penambahan paket karena semakin kecil kesempatan untuk melakukan kecurangan. Banyak siswa yang khawatir tidak dapat mengerjakan soal UN dan tidak dapat meminta bantuan dari temannya sehingga kemungkinan dia lulus semakin kecil. Bagi siswa yang benar-benar mengerjakan sendiri soal ujiannya seharusnya tidak perlu khawatir. Karena seperti penjelasan pada paragraf sebelumnya, satu siswa hanya mengerjakan satu paket soal. Sehingga jelas, para siswa yang menolak ditambahnya jumlah variasi soal merupakan siswa yang akan bekerjasama atau melakukan kecurangan saat dilaksanakannya UN.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kecurangan pada pelaksanaan UN sudah terlalu akut. Sebuah ujian yang dilaksanakan untuk menguji kesiapan siswa naik jenjang justru pelaksanaannya diselewengkan. Untuk itu, perlu dilakukan pencerdasan dan pengawasan ekstra supaya budaya tidak jujur saat UN bisa diminimalisir. Selain itu sistem pendidikan yang berjalan juga harus dimodifikasi, sehingga pelajaran yang deterima oleh siswa tidak hanya diingat saat akan ulangan saja namun bisa tertanam di pikiran-pikiran mereka sehingga saat direview sedikit materi yang sudah diterima bisa diingat kembali. Namun, apabila cara-cara tersebut sudah dilakukan secara optimal namun masih saja terdapat kecurangan dalam pelaksanaan UN maka patut dipertanyakan apakah UN masih harus dilaksanakan.

Setelah itu, siswa seharusnya lebih khawatir dengan kebijakan peningkatan level kesulitan soal dan peningkatan batas kelulusan. Karena jika hal tersebut dilakukan, pelajar yang jujur harus belajar ekstra untuk dapat memeroleh nilai yang baik dan lulus UN.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes